Kegiatan bimtek tersebut diklaim bekerja sama dengan Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumatera Utara. “Beberapa minggu lalu ada pelatihan di Parapat. Peserta diminta membayar Rp10 juta untuk dua orang, tapi pelaksanaannya sangat tidak profesional. Fasilitas minim, pemateri dari dinas tidak hadir,” ungkap seorang peserta yang ingin identitasnya dirahasiakan.
Selain itu, para pendamping koperasi di berbagai daerah mengaku belum menerima honor maupun penggantian biaya transportasi meski telah bekerja sejak Oktober 2025. Kepala Dinas Koperasi Sumut, Naslindo Sirait, sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana besar untuk program ini, yaitu Rp40 miliar dari pusat dan Rp45 miliar dari dana dekonsentrasi provinsi. Namun, kenyataannya, hingga kini para pendamping belum menerima sepeser pun.
Ketegangan meningkat saat terjadi keributan antara peserta dan panitia di Hotel Mercure Medan. Peserta dari kawasan Nias dan sekitarnya memprotes karena biaya transport mereka tidak dibayarkan sesuai janji. “Mereka datang menggunakan uang pribadi, sekitar empat juta rupiah per orang, tapi setelah acara selesai tidak ada kejelasan penggantian transport,” tambah peserta lainnya.
Grup WhatsApp para pendamping dipenuhi keluhan dan protes terhadap pihak penyelenggara dan dinas. Beberapa pengurus koperasi juga membenarkan dimintai nomor rekening pribadi dengan janji akan dibayarkan, tetapi hingga kini realisasinya belum ada.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Koperasi dan UKM Sumut maupun Kepala Dinas Naslindo Sirait belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan penyimpangan dana dan keterlambatan pembayaran hak peserta.
Kasus ini menjadi sorotan publik, sejalan dengan sikap tegas Presiden Prabowo Subianto terhadap praktik penyalahgunaan dana negara, dan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menegaskan tidak ada toleransi terhadap penyelewengan dana publik.(Rel/Red/Dr).






